Grafik di atas mencoba untuk menunjukkan tren peraturan daerah di Kabupaten Sumbawa selama 10 tahun terakhir (2005-2015). Namun sebelum melakukan analisa terhadap grafik ini, konsep dan dasar hukum tentang pembentukan peraturan daerah perlu diperjelas.

Di Indonesia pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, termasuk pembentukan peraturan daerah, di atur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Berdasarkan Undang-Undang ini, Peraturan Daerah (Perda) dapat dibagi menjadi dua, yaitu Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Dalam tulisan ini, peraturan daerah yang dimaksud adalah peraturan daerah kabupaten. Peraturan Daerah Kabupaten adalah peraturan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 8).

Pembentukan Peraturan daerah melalui mekanisme tertentu dan terdiri dari beberapa tahapan yang salah satunya adalah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).  Rancangan ini dapat berasal dari eksekutif maupun legislatif. Jika rancangan ini berasal dari inisiatif pemerintah (eksekutif), maka Raperda disiapkan oleh bupati/ wali kota untuk disampaikan kepada DPRD. Sebaliknya jika inisiatif berasal dari legislatif, maka Raperda disiapkan oleh DPRD untuk disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah. Raperda ini nantinya akan dibahas bersama antara eksekutif dan legislative dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna. Dan hasil pembahasan yang telah disetujui selanjutnya disampaikan oleh pimpinan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Tenggang waktu penandatanganan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota adalah 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari tersebut Gubernur atau Bupati/Walikota belum/tidak menandatangani, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.

ANALISA DATA

Berdasarkan grafik tersebut di atas, performa pemerintah Kabupaten Sumbawa dalam hal produktifitas pembentukan peraturan daerah mengalami penurunan, 30 peraturan daerah di Tahun 2005 menjadi 13 peraturan daerah di Tahun 2015. Penurunan yang sangat signifikan terjadi pada Tahun 2009 dimana hanya 3 (1/30 kondisi 2005) peraturan daerah yang dihasilkan oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa. Tiga peraturan daerah tersebut adalah Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 1 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2009, Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008, dan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Tahun Anggaran 2009. Data ini menjadi semakin menarik di Tahun 2010 di mana jumlah peraturan daerah Kabupaten Sumbawa meningkat drastis mencapai 34 peraturan (31x kondisi 2009). Angka ini adalah angka tertinggi yang dicapai oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa dalam kurun waktu satu dekade.

Yang menjadi pertanyaan adalah ada apa di Tahun 2005, 2009, dan 2010. Jika kita telusuri peristiwa-peristiwa politik di Kabupaten Sumbawa di sepuluh tahun terakhir, ternyata 2005, dan 2010 adalah tahun pertama bagi pemerintah (Bupati dan DPRD) yang baru terpilih baik melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg), sedangkan Tahun 2009 adalah akhir masa jabatan dari pemerintah yang memenangkan pemilihan umum di Tahun 2004. Poin yang dapat diambil dari korelasi antara dua variable di atas (jumlah perda/output dan performa/kinerja pemerintah) adalah di tahun-tahun awal masa jabatan, pemerintah cenderung memiliki performa yang lebih baik dibandingkan di akhir masa jabatan. Meskipun secara kualitatif korelasi antara jumlah peraturan daerah yang dihasilkan dengan kinerja/ performa pemerintah daerah Kabupaten Sumbawa sering diragukan, megukur kinerja/peforma seseorang atau lembaga dengan metode kualitatif sangat sulit dilakukan mengingat kinerja dan performa adalah konsep yang abstrak. Salah satu solusi untuk dapat mengukur performa/kinerja yaitu dengan mentransformasi konsep dari performa/kinerja ke konsep yang dapat dikuantifikasikan atau diukur (dalam hal ini jumlah peraturan daerah).

Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya penurunan performa pemerintah dalam pembentukan peraturan daerah. Salah satunya adalah pada masa-masa akhir masa jabatan pemerintah baik eksekutif maupun legislative sibuk mempersiapkan strategi dan manuver-manuver politik untuk memenangkan pemilihan selanjutnya, sehingga urusan-urusan pemerintahan sering kali dikesampingkan. Kondisi ini biasanya semakin diperburuk dengan kurangnya perhatian dan partisipasi public dalam mengawal para eksekutor dan legislator untuk tetap focus pada tugas pokok dan fungsinya. Andai pun ada yang menaruh perhatian, suara-suara yang coba didengungkan tidak cukup kuat untuk melakukan perubahan-perubahan yang sistemik. Bahkan masyarakat pun sangat antusias ikut terlibat langsung dalam sepak terjang para elit dan partai politik. Tidak sedikit yang bersedia untuk menjadi relawan tim pemenangan/ tim sukses. Motivasinya beragam mulai dari alasan keluarga, teman, sahabat, sampai dengan alasan tambahan sumber penghasilan. Bagi masyarakat awam, masa-masa kampanye seringkali dimanfaatkan sebagai masa untuk mendapatkan uang tambahan. Mereka terkesan tidak perduli dengan proses politik yang sesungguhnya. Yang mereka pikirkan hanyalah manfaat finansial jangka pendek.

Pegawai Negeri Sipil (sekarang Aparatus Sipil Negara/ASN) tidak mau melewatkan kesempatan ini. Alasannya juga beragam mulai dari mendukung keluarga, sahabat, tetangga sampai dengan alasan mengamankan posisi yang ada atau untuk memperoleh posisi/ jabatan yang lebih tinggi. Caranya ya itu tadi, terlibat dalam politik baik secara langsung dan terang-terangan (politik praktis) maupun secara sembunyi-sembunyi mendukung salah satu calon/ kandidat yang dianggap akan memenangkan pemilihan. Aturannya sangat jelas bahwa PNS harus netral dan tidak terlibat politik praktis, namun pada praktiknya sangat sulit bagi PNS untuk tidak terlibat didalamnya. Alasan yang paling dominan adalah karena jabatan dan posisi PNS tidak ditentukan berdasarkan tingkat profesionalisme, keahlian, dan pengalaman, dan latar belakang pendidikan, melainkan berdasarkan kedekatan dengan para elit politik dan kontribusi mereka saat masa kampanye terhadap kandidat yang memenangkan pemilihan. Dengan kata lain PNS dapat di control oleh elit politik yang berkuasa, dan ini yang menyebabkan PNS tidak dapat berdiri sebagai aparatur pemerintah yang independen. Jika kondisi seprti ini terus bertahan, maka sulit untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan public. Untuk dapat menjalankan prinsip-prinsip Good Governance dan Clean Government, dibutuhkan aparatur yang kompeten, independen dari tekanan-tekanan elit politik. Inilah salah satu latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun demikian, sebagus apapun peraturan atau hukum itu, tidak akan memberikan perubahan jika tidak dieksekusi dan diimplementasi dengan baik.

Alasan lain yang mungkin menjadi penyebab menurunnya output dari pemerintah daerah dalam hal pembentukan peraturan daerah adalah conflict of interest. Seringkali terjadi benturan-benturan kepentingan antara eksekutif dan legislative. Hal ini mempengaruhi output dari pemerintah. Jika eksekutif dan legislative mempertahankan ego dan kepentinganmasing-masing, maka kesepakatan sulit untuk dicapai. Semakin lama proses mencapai suatu kesepakatan terhadap Rancangan Peraturan Daerah, semakin lama pula proses finalisasi dan legitimasi Rancangan tersebut. Berbeda dengan penyebab pertama terjadinya penurunan output pemerintah seperti yang telah di sebutkan di atas, perdebatan dan kritik antara eksekutif dan legislative sebenarnya memberikan dampak positif terhadap kualitas peraturan daerah, dan  hal ini merupakan esensi dari demokrasi yang memberikan ruang seluas-luasnya untuk melakukan musyawarah dengan maksud menghasilkan output dan outcome yang optimal dan lebih baik.

Referensi

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Pemerintah Kabupaten Sumbawa, diakses tanggal 8 April 2016, <http://www.jdih.sumbawakab.go.id/?page=home>.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.